Rabu, 18 Februari 2009

Rumah Matahari Terbit


The Sunrise Home

Tell your child about the story
Let them enjoy the fantasy
Till they fly around the galaxy
And read the journey happily

It’s about our rhythm
It’s about the sunrise home
What I call the miracle
And all thing’s lovable….

Saat mengobok-obok tulisan lama, saya menemukan kembali bait-bait ini. Sebuah karya yang saya namai puisi (mudah-mudahan betul dan syaratnya cukup). Puisi ini, saya ingat, lahir dari spontanitas belaka. Beberapa waktu lalu, saat riak-riak kecil mengacaukan ketenangan telaga Rumah Cahaya. Saat sibuk merampas kebersamaan. Ketika cahaya yang kita banggakan terlihat meredup...dan kita ramai bersorak tak rela!

The Sunrise Home dan bait-baitnya... tak punya makna yang terlalu tinggi. Tapi ia cukup berdentang bagi saya. Sesuai dengan cita rasa kata dan paduan kalimat yang saya senangi: berirama dan bermakna.

The sunrise home. Entah benar atau tidak. Itu hanya pasangan kata yang meletup secara spontan. Terjemahan bebas untuk rumah cahaya. Dan jujur saja, sebelumnya entah di buku apa (saya lupa, mungkin ada yang tahu atau pernah mendapati?), saya menemukan kalimat rumah matahari terbit. Mungkin itulah yang kemudian diproses secara otomatis oleh otak saya dengan menyodorkan istilah The Sunrise Home.

Dan setiap kata yang lahir setelahnya, tak kurang bernasib sama. Hanya beberapa vocabulary yang kebetulan sempat mampir di otak saya (maklum, saya tak pintar berbahasa inggris). Saya dorong vocab2 itu keluar dan saya paksa untuk menggabungkan diri lalu menjelaskan apa yang paling ingin saya ingat tentang rumah cahaya.

Saya tahu, puisi ini tidaklah begitu penting. Dengan atau tanpanya, tak akan ada gunung yang berpindah atau laut yang tiba-tiba mengering. Tetapi, atas nama kreatifitas, ia tentu saja menjadi hal yang sangat berharga bagi saya. Dimana kertas yang mulanya kosong, bahkan satu tanda titik pun ia tak punya, kemudian menjadi kertas yang saya timpuki 43 kata.

Tetapi, bukan kadar keberartian itu yang membuat saya berhasrat mengangkatnya kembali. Melainkan sebuah pikiran juga rasa penasaran, bolehkah bait-bait tersebut dinamakan puisi? Atau apa sebenarnya syarat sebuah puisi? Dan secara tata bahasa, Bahasa Inggris terutama, apa kata-kata yang saya pilih dan posisinya dalam kalimat sudah benar?

Itu pertanyaan yang saya anggap penting. Meski saya paham betul: menulis adalah menulis adalah menulis. Dan setiap bayi pun baru mendapatkan nama setelah ia lahir. Artinya tulis saja dulu. Dalam suntikan energi untuk barisan penulis pemula, kalangan penulis senior juga seringkali berpesan; kirimkan saja karyamu, selepas itu biarkan dia yang menetukan nasibnya sendiri. Yaaahh..bolehlah. Tetapi ketika menulis diniatkan untuk dibaca orang jamak, tentu saja sudah harus mempertimbangkan bagian-bagian tertentu, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar